Menjebak logam bisa dibuktikan sebagai salah satu metode penting
untuk menyembuhkan penyakit Alzheimer, berdasarkan hasil-hasil
menjanjikan dari trial-trial klinis yang telah dilakukan pada sebuah
senyawa yang disebut PBT2. Obat potensial ini, yang telah dipatenkan
oleh perusahaan bioteknologi Australia, Prana, bisa menghambat sebuah
reaksi berperantara logam yang menyebabkan amiloid beta, sebuah peptida
yang terdiri dari 42 asam amino, berkumpul pada plak-plak dalam otak
pasien Alzheimer.
Dalam sebuah trial terkendali-pasebo pada subjek-subjek yang mengalami Alzheimer dini, seperti dipublikasikan dalam Lancent Neurology,
mereka yang diberikan 250mg PBT2 sekali sehari jauh lebih baik dalam
dua uji fungsi kognitif setelah 12 pekan. Kadar amiloid beta dalam
cairan spinal mereka juga lebih rendah.
"Obat ini menargetkan
sebuah reaksi antara amiloid beta dan zink dan tembaga ionik yang
dilepaskan kedalam sinapsis glutamat [pertemuan antara neuron-neuron]
yang dipengaruhi oleh Alzheimer," papar Ashley Bush dari Institut
Penelitian Kesehatan Jiwa Victoria di Australia, salah seorang peneliti
studi klinis PBT2. "Apabila amiloid beta bereaksi dengan ion-ion
tembaga, dia berkumpul menjadi gumpalan dan bisa mengalami reaksi
redoks, menghasilkan spesies oksigen reaktif dan radikal.
Craig
Ritchie dari Imperial College London di Inggris, seorang spesialis
psikiatri yang sekarang menjadi penasehat klinis di Prana, percaya bahwa
pengumpulan amiloid beta monomerik ini hanya mungkin dengan adanya
ion-ion yang dijebak oleh obat ini. "Ada tempat-tempat ikatan untuk
logam-logam tersebut pada amiloid beta monomerik, yang membentuk
ikatan-ikatan ditirosin dan menjadi kurang larut jika mereka berkumpul,"
dia menjelaskan. Kumpulan-kumpulan yang tidak dapat larut ini tetap
berada dalam otak dan tampak memegang peranan penting dalam pembentukan
plak-plak Alzheimer yang khas.
Bush, Ritchie dan rekan-rekannya
telah meneliti hal ini sejak awal tahun 1990an. "Pada awalnya, kami
menganggap pengkelat (chelator) logam bisa memiliki beberapa kegunaan,"
kata Bush. "Tetapi pengkelat ini juga mengusik berbagai sifat kimia ion
logam esensial, dan mereka tidak melewati pembatas darah-otak dengan
baik. Sehingga tantangan yang ada adalah mencari pengkelat yang kurang
kuat."
Mereka memanfaatkan fakta bahwa tempat pengikatan logam
normal yang terbentuk pada akumulasi amiloid beta dalam otak bersifat
hidrofob, tetapi menjebak logam. Sehingga mereka mencari molekul-molekul
ionofor – molekul-molekul terlarut-lipid yang membentuk kompleks dengan
ion-ion dan mentransportnya ke dalam membran sel – yang secara selektif
menargetkan logam-logam dalam tempat pengikatan hidrofob ini.
Trial-trial
awal tentang sebuah antijamur lama, clioquinol, cukup menjanjikan.
"PBT2 merupakan sebuah kemajuan yang signifikan," klaim Bush. "Obat ini
memiliki perancah (scaffold) 8-hidroksiquinolon yang sama, tetapi kami
menghilangkan beberapa elemen yang kami tidak inginkan, seperti atom
iodin yang tidak stabil yang juga menimbulkan masalah untuk pembuatan
obat dalam skala produksi. PBT2 tidak mengandung iodin, sintesisnya
sederhana, dan yang lebih penting, jauh lebih diperkaya dalam otak."
Tim
peneliti ini sekarang sedang menyelidiki desain sebuah trial
skala-besar, dan Ritchie cukup optimis. "Sejak awal 1990an, yang menjadi
fokus kami adalah membuat sebuah obat yang bisa diresepkan oleh dokter,
dan sejauh ini saya melihat hal tersebut sangat mungkin," kata dia.
"Mudah-mudahan kita dapat mengupayakan perizinan PBT2 ini dalam waktu
yang tidak lama lagi."
Sumber : http://www.rsc.org/chemistryworld/
Kamis, 30 Mei 2013
Kalimat-Kalimat Maut Untuk Mikroba
Urutan-urutan peptida mengikuti aturan-aturan yang mirip aturan grammar – mengurutkan peptida-peptida secara berbeda, seperti menata ulang kata-kata dalam sebuah kalimat, akan memberikan makna berbeda tergantung pada struktur gramatikal yang dibentuk. Gregory Stephanopoulos dan rekan-rekannya di Massachusetts Institute of Technology, Cambridge, US, telah berhasil mensintesis AMP yang memiliki "grammar" yang sama dengan AMP alami, tetapi memiliki urutan-urutan yang berbeda. Dengan menggunakan metode-metode dari linguistik untuk memahami strukturnya, lipatan dan keragaman protein telah diperdebatkan selama puluhan tahun. Tetapi ini tidak melahirkan urutan-urutan protein yang baru. Para peneliti ini sekarang mendapatkan serangkaian aturan gramatikal untuk urutan-urutan AMP alami dan menggunakannya untuk mensintesis peptida-peptida baru.
Para peneliti ini membangun kumpulan lebih dari 700 grammar berbeda. Masing-masing grammar merupakan sekumpulan aturan yang menentukan kombinasi mana dari kata-kata (asam amino) yang bisa disambung untuk membentuk sebuah kalimat (peptida). Dengan panjang yang terbatas pada 10 kata, masing-masing dari grammar ini menentukan kegunaan sebuah kata tertentu dalam posisi tertentu, disamping memungkinkan pemilihan beberapa kata berbeda di posisi lainnya.
Kelompok Sephanopoulos menyusun daftar semua kalimat 20-kata yang memenuhi sekurang-kurangnya satu grammar 10-kata pada setiap penggalan 10-kata nya. Dari daftar ini, mereka menghilangkan semua peptida yang memiliki banyak kemiripan urutan dengan AMP alami yang diketahui. Ini menyisakan sekumpulan peptida yang berbeda dengan AMP alami, tetapi mengikuti aturan-aturan gramatikal yang sama. Dengan membandingkan efek-efek antimikroba dari peptida-peptida ini dengan kontrol-kontrol tersusun acak yang mengandung kata sama dalam urutan/kalimat berbeda, mereka menemukan bahwa aturan-aturan gramatikal yang mereka buat dapat memprediksikan aktivitas antimikroba.
Yechiel Shai, yang baru-baru ini menemukan golongan baru lipopeptida antimikroba ultra-kecil, menyambut baik tambahan sistem persenjataan untuk memerangi mikroba ini. "Ini penelitian sangat menarik yang memperkaya sistem persenjataan peptida-peptida antimikroba yang tersedia," kata Shai ke Chemistry World. "Menarik untuk mencari tahu apakah pendekatan seperti ini bisa dimanfaatkan untuk penemuan peptida-peptida berantai pendek dengan sifat-sifat antimikroba yang lebih baik dibanding peptida alami yang biasa digunakan dalam terapi.
Sumber : http://www.rsc.org/chemistryworld/
Mendeteksi penyakit dengan menggunakan sedikit TLC
Racun buruli ulcer dideteksi dengan menggunakan lapisan kromatografi yang tipis. Sebuah metode yang rendah biaya dan sederhana untuk mendeteksi racun dari organisme yang menyebabkan sisa penyakit Buruli ulcer telah dikembangkan oleh para ilmuwan Amerika Serikat.
Gambar penderita Buruli ulcer |
Buruli ulcer merupakan sisa penyakit yang disebabkan oleh organisme yang disebut Mycobacterium Ulcerans,
dimana masih dalam satu kelompok yang sama dengan organisme yang
menyebabkan leprosy dan tuberkulosis. Diagnosis dan perawatan dini
sangatlah vital sebagaimana perawatan yang tertunda dapat menyebabkan
kelalaian bentuk yang tidak dapat diubah, ketidak mampuan fungsional
jangka panjang seperti pelarangan gerakan yang digabung, luka kulit yang
ekstensif dan kadang-kadang infeksi sekunder yang membahayakan jiwa.
Rantai reaksi polymerase dari DNA M.ulcerans
DNA biasanya digunakan untuk mendeteksi infeksi, namun sangat mahal dan
sulit untuk memelihara ketahanan kata Yoshito Kishi dan Thomas
Spangenberg dari Harvard University, Cambridge. Mereka telah
menciptakan detektor fluorescent yang sederhana namun sangat sensitif
untuk mycolactones, racun ini disekresi oleh M. Ulcerans dan didistribusikan didalam jaringan yang terinfeksi.
Mycolactones
diketahui berperilaku baik pada lapisan kromatografi yang tipis dengan
menghasilkan suatu titik yang berbeda pada gel silika kata Kishi dan
Spangenberg, namun sensitifitasnya sangat rendah. Pasangan ini
menggunakan asam boronic untuk mengikat secara selektif mycolactone
dengan meningkatkan emisi fluorescent dan memungkinkan pendeteksian
tingkatannya serendah mungkin sebesar dua nanograms dari
mycolactones-nya.
‘Hal ini adalah prospek yang menakjubkan dimana
akan diterima dengan perhatian yang besar,’ kata Mark Wansbrough Jones,
kepala teknis penasehat kelompok Buruli ulcer dari World Health
Organisation. ‘Ini mempunyai potensi digunakan sebagai alat diagnostik
yang sangat penting karena diagnosis klinis hanya 70% saja yang
sepertinya mempunyai hasil yang benar dan sebagai tes sederhana seperti
mikroskopi terhadap bakteri kurang dari 50 % yang bersifat sensitif.’
Metode
yang sederhana dan efektif ini secara khusus akan berguna pada area
terpencil yang dikenal menderita penyakit ini, kata Kishi dan
Spangenberg. Sekarang ini mereka sedang memeriksa apakah teknik ini
dapat dikembangkan kedalam caryang efektif untuk mendiagnosa Buruli
ulcer pada tahap dini.
MICROARRAYS UNTUK PENELITIAN PENYAKIT ASMA
Sample yang dianalisa terdiri atas dua kelompok
sample DNA atau RNA yang akan dipelajari perbedaan hibridasisasinya terhadap
probe pada slide. Khusus untuk sampel dalam bentuk mRNA, maka perlu
ditranskripsi balik terlebjih dahulu menjadi cDNA. Setelah proses hibridisasi,
kemudian dilakukan scanning image dari slides array DNA dengan menggunakan
scanner untuk memperoleh pengukuran intensitas fluoresensi.
Asma (Asthma) adalah salah satu penyakit
alergi serius yang muncul karena disebabkan sifat genetic dan faktor lingkungan
seperti allergen (penyebab alergi), infeksi saluran pencernaan, dan
polusi udara. Asma paling banyak berhubungan dengan atopy, suatu kecenderungan
untuk meningkatkan immunoglobulin (Ig)-E menghadapi allergen dari lingkungan
(Tzouvelekis et al 2004).
Dalam beberapa tahun dianggap nitrit oksida
dengan inducible NO synthase (iNOS) memegang peranan penting pada peradangan
termasuk asma. Namun studi terbaru menunjukkan bronchodilating constitutive
NOS (cNOS)-turunan NO penting dalam menginduksi allergen-hyperresponsiveness.
Meskipun begitu beberapa mekanisme yang bertujuan untuk menurunkan aktivitas
cNOS, menurunkan keberadaan substrat karena adanya kombinasi dari peningkatan
aktivitas arginase dan penurunan pengambilan l-arginine oleh sel,
menunjukkan peranan kunci.
Dengan menggunakan model asma yang diinduksi
dengan allergen dan cara berbeda, diidentifikasi adanya 6,5% dari genom yang
diuji terdapat perubahan ekspresi gen pada paru-paru penderita asma. Khususnya
dua model dengan sifat fenotip yang mirip pada eksperimen menunjukkan profil
transkrip yang berbeda. Gen yang berhubungan dengan metabolisme dengan
asam amino dasar, secara spesifik asam amino kationik transporter 2, arginase
I, dan arginase II, yang paling menunjukkan tanda gen penyebab asma. Pada
hibridisasi in situ mendemonstrasikan penandaan arginase I, khususnya
pada luka peradangan submocosal. Aktivitas arginase meningkat pada partu-paru
yang diinduksi dengan allergen dengan meningkatnya aktivitas enzim, peningkatan
kadar putresin, dan produk akhir. Berdasarkan kemampuan arginase untuk
meregulasi nitrit oksida, poliamina dan kolagen, hasil ini menetapkan dasar
dari farmakologi untuk menjadikan metabolisme arginine sebagai target pada
kelainan alergi.
Metode yang digunakan dimulai dari eksperimen
penginduksian asma, preparasi RNA dan hibridisasi microarray, analisis data
microarray, Northern blot dan analisis RT-PCR, Hibridisasi in situ
pada paru-paru tikus, Immunohistochemistry, aktifitas Arginase,
tingkat Putrescine, analisis sampel paru-paru manusia, kemudian dengan hasil
analisis DNA microarray diidentifikasi lah bagian genom yang terkait dengan
penyakit asma. Pada hasil data microarray menunjukkan dua jumlah dari ekspresi
gen yang digunakan berbeda nyata dan berbeda rata-rata secara statistik.
Sumber :
Sciencebiotech.net
Langganan:
Postingan (Atom)