Kamis, 30 Mei 2013

Perangkap Logam untuk Menghentikan Alzheimer

Menjebak logam bisa dibuktikan sebagai salah satu metode penting untuk menyembuhkan penyakit Alzheimer, berdasarkan hasil-hasil menjanjikan dari trial-trial klinis yang telah dilakukan pada sebuah senyawa yang disebut PBT2. Obat potensial ini, yang telah dipatenkan oleh perusahaan bioteknologi Australia, Prana, bisa menghambat sebuah reaksi berperantara logam yang menyebabkan amiloid beta, sebuah peptida yang terdiri dari 42 asam amino, berkumpul pada plak-plak dalam otak pasien Alzheimer.
Dalam sebuah trial terkendali-pasebo pada subjek-subjek yang mengalami Alzheimer dini, seperti dipublikasikan dalam Lancent Neurology, mereka yang diberikan 250mg PBT2 sekali sehari jauh lebih baik dalam dua uji fungsi kognitif setelah 12 pekan. Kadar amiloid beta dalam cairan spinal mereka juga lebih rendah.
"Obat ini menargetkan sebuah reaksi antara amiloid beta dan zink dan tembaga ionik yang dilepaskan kedalam sinapsis glutamat [pertemuan antara neuron-neuron] yang dipengaruhi oleh Alzheimer," papar Ashley Bush dari Institut Penelitian Kesehatan Jiwa Victoria di Australia, salah seorang peneliti studi klinis PBT2. "Apabila amiloid beta bereaksi dengan ion-ion tembaga, dia berkumpul menjadi gumpalan dan bisa mengalami reaksi redoks, menghasilkan spesies oksigen reaktif dan radikal.
Craig Ritchie dari Imperial College London di Inggris, seorang spesialis psikiatri yang sekarang menjadi penasehat klinis di Prana, percaya bahwa pengumpulan amiloid beta monomerik ini hanya mungkin dengan adanya ion-ion yang dijebak oleh obat ini. "Ada tempat-tempat ikatan untuk logam-logam tersebut pada amiloid beta monomerik, yang membentuk ikatan-ikatan ditirosin dan menjadi kurang larut jika mereka berkumpul," dia menjelaskan. Kumpulan-kumpulan yang tidak dapat larut ini tetap berada dalam otak dan tampak memegang peranan penting dalam pembentukan plak-plak Alzheimer yang khas.
Bush, Ritchie dan rekan-rekannya telah meneliti hal ini sejak awal tahun 1990an. "Pada awalnya, kami menganggap pengkelat (chelator) logam bisa memiliki beberapa kegunaan," kata Bush. "Tetapi pengkelat ini juga mengusik berbagai sifat kimia ion logam esensial, dan mereka tidak melewati pembatas darah-otak dengan baik. Sehingga tantangan yang ada adalah mencari pengkelat yang kurang kuat."
Mereka memanfaatkan fakta bahwa tempat pengikatan logam normal yang terbentuk pada akumulasi amiloid beta dalam otak bersifat hidrofob, tetapi menjebak logam. Sehingga mereka mencari molekul-molekul ionofor – molekul-molekul terlarut-lipid yang membentuk kompleks dengan ion-ion dan mentransportnya ke dalam membran sel – yang secara selektif menargetkan logam-logam dalam tempat pengikatan hidrofob ini.
Trial-trial awal tentang sebuah antijamur lama, clioquinol, cukup menjanjikan. "PBT2 merupakan sebuah kemajuan yang signifikan," klaim Bush. "Obat ini memiliki perancah (scaffold) 8-hidroksiquinolon yang sama, tetapi kami menghilangkan beberapa elemen yang kami tidak inginkan, seperti atom iodin yang tidak stabil yang juga menimbulkan masalah untuk pembuatan obat dalam skala produksi. PBT2 tidak mengandung iodin, sintesisnya sederhana, dan yang lebih penting, jauh lebih diperkaya dalam otak."
Tim peneliti ini sekarang sedang menyelidiki desain sebuah trial skala-besar, dan Ritchie cukup optimis. "Sejak awal 1990an, yang menjadi fokus kami adalah membuat sebuah obat yang bisa diresepkan oleh dokter, dan sejauh ini saya melihat hal tersebut sangat mungkin," kata dia. "Mudah-mudahan kita dapat mengupayakan perizinan PBT2 ini dalam waktu yang tidak lama lagi."
Sumber :  http://www.rsc.org/chemistryworld/

Kalimat-Kalimat Maut Untuk Mikroba

Peneliti di Amerika Serikat telah menggunakan metode-metode yang dipinjam dari ilmu linguistik dalam perburuan agen-agen antimikroba yang baru. Peptida-peptida antimikroba sintetik (AMP), berbasis AMP alami yang telah lama kita gunakan untuk melawan infeksi, memperlihatkan potensi untuk mencegal penyebaran mikroba-mikroba yang kebal antibiotik. Tetapi AMP sintetik yang memiliki urutan peptida acak bisa mempertahankan perkembangbiakan bakteri-bakteri yang kebal terhadap sistem pertahanan imun alami kita.
Urutan-urutan peptida mengikuti aturan-aturan yang mirip aturan grammar – mengurutkan peptida-peptida secara berbeda, seperti menata ulang kata-kata dalam sebuah kalimat, akan memberikan makna berbeda tergantung pada struktur gramatikal yang dibentuk. Gregory Stephanopoulos dan rekan-rekannya di Massachusetts Institute of Technology, Cambridge, US, telah berhasil mensintesis AMP yang memiliki "grammar" yang sama dengan AMP alami, tetapi memiliki urutan-urutan yang berbeda. Dengan menggunakan metode-metode dari linguistik untuk memahami strukturnya, lipatan dan keragaman protein telah diperdebatkan selama puluhan tahun. Tetapi ini tidak melahirkan urutan-urutan protein yang baru. Para peneliti ini sekarang mendapatkan serangkaian aturan gramatikal untuk urutan-urutan AMP alami dan menggunakannya untuk mensintesis peptida-peptida baru.
Para peneliti ini membangun kumpulan lebih dari 700 grammar berbeda. Masing-masing grammar merupakan sekumpulan aturan yang menentukan kombinasi mana dari kata-kata (asam amino) yang bisa disambung untuk membentuk sebuah kalimat (peptida). Dengan panjang yang terbatas pada 10 kata, masing-masing dari grammar ini menentukan kegunaan sebuah kata tertentu dalam posisi tertentu, disamping memungkinkan pemilihan beberapa kata berbeda di posisi lainnya.
Kelompok Sephanopoulos menyusun daftar semua kalimat 20-kata yang memenuhi sekurang-kurangnya satu grammar 10-kata pada setiap penggalan 10-kata nya. Dari daftar ini, mereka menghilangkan semua peptida yang memiliki banyak kemiripan urutan dengan AMP alami yang diketahui. Ini menyisakan sekumpulan peptida yang berbeda dengan AMP alami, tetapi mengikuti aturan-aturan gramatikal yang sama. Dengan membandingkan efek-efek antimikroba dari peptida-peptida ini dengan kontrol-kontrol tersusun acak yang mengandung kata sama dalam urutan/kalimat berbeda, mereka menemukan bahwa aturan-aturan gramatikal yang mereka buat dapat memprediksikan aktivitas antimikroba.
Yechiel Shai, yang baru-baru ini menemukan golongan baru lipopeptida antimikroba ultra-kecil, menyambut baik tambahan sistem persenjataan untuk memerangi mikroba ini. "Ini penelitian sangat menarik yang memperkaya sistem persenjataan peptida-peptida antimikroba yang tersedia," kata Shai ke Chemistry World. "Menarik untuk mencari tahu apakah pendekatan seperti ini bisa dimanfaatkan untuk penemuan peptida-peptida berantai pendek dengan sifat-sifat antimikroba yang lebih baik dibanding peptida alami yang biasa digunakan dalam terapi.
Sumber : http://www.rsc.org/chemistryworld/

Mendeteksi penyakit dengan menggunakan sedikit TLC

Racun buruli ulcer dideteksi dengan menggunakan lapisan kromatografi yang tipis. Sebuah metode yang rendah biaya dan sederhana untuk mendeteksi racun dari organisme yang menyebabkan sisa penyakit Buruli ulcer telah dikembangkan oleh para ilmuwan Amerika Serikat.
b922305c-300-FOR-TRIDION_tcm18-173256
Gambar penderita Buruli ulcer
Buruli ulcer merupakan sisa penyakit yang disebabkan oleh organisme yang disebut Mycobacterium Ulcerans, dimana masih dalam satu kelompok yang sama dengan organisme yang menyebabkan leprosy dan tuberkulosis. Diagnosis dan perawatan dini sangatlah vital sebagaimana perawatan yang tertunda dapat menyebabkan kelalaian bentuk yang tidak dapat diubah, ketidak mampuan fungsional jangka panjang seperti pelarangan gerakan yang digabung, luka kulit yang ekstensif dan kadang-kadang infeksi sekunder yang membahayakan jiwa.
Rantai reaksi polymerase dari DNA M.ulcerans DNA biasanya digunakan untuk mendeteksi infeksi, namun sangat mahal dan sulit untuk memelihara  ketahanan kata Yoshito Kishi dan Thomas Spangenberg dari Harvard University, Cambridge. Mereka telah menciptakan detektor fluorescent yang sederhana namun sangat sensitif untuk mycolactones, racun ini disekresi oleh M. Ulcerans dan didistribusikan didalam jaringan yang terinfeksi.
Mycolactones diketahui berperilaku baik pada lapisan kromatografi yang tipis dengan menghasilkan suatu titik yang berbeda pada gel silika kata Kishi dan Spangenberg, namun sensitifitasnya sangat rendah. Pasangan ini menggunakan asam boronic untuk mengikat secara selektif  mycolactone dengan meningkatkan emisi fluorescent dan memungkinkan pendeteksian tingkatannya serendah mungkin sebesar dua nanograms dari mycolactones-nya.
‘Hal ini adalah prospek yang menakjubkan dimana akan diterima dengan perhatian yang besar,’ kata Mark Wansbrough Jones, kepala teknis penasehat kelompok Buruli ulcer  dari World Health Organisation. ‘Ini mempunyai potensi digunakan sebagai alat diagnostik yang sangat penting karena diagnosis klinis hanya 70% saja yang sepertinya mempunyai hasil yang benar dan sebagai tes sederhana seperti mikroskopi terhadap bakteri kurang dari 50 % yang bersifat sensitif.’
Metode yang sederhana dan efektif ini secara khusus akan berguna pada area terpencil yang dikenal menderita penyakit ini, kata Kishi dan Spangenberg. Sekarang ini mereka sedang memeriksa apakah teknik ini dapat dikembangkan kedalam caryang efektif untuk mendiagnosa Buruli ulcer pada tahap dini.

MICROARRAYS UNTUK PENELITIAN PENYAKIT ASMA


DNA microarray adalah teknologi yang digunakan untuk melihat urutan sekuens asam nukleat yang berada pada lokasi tertentu dan dapat digunakan untuk menganalisa beribu-ribu sampel pada waktu yang bersamaan. Prinsipnya adalah mengandalkan kemampuan DNA sampel yang telah dilabel dengan zat fluorescent untuk melakukan rekombinasi dengan probe yang telah ada pada chip microarray. Microarray merupakan suatu array DNA yang ukuran diameter dari spot DNA kurang dari 250 microns. Teknik microarray ini menggunakan sampel yang diberi label flurescent yang dapat berpendar pada panjang gelombang tertentu. Pewarna yang biasa digunakan adalah Cy3 dan Cy5. Dengan pewarna ini, dapat dideteksi perbedaan ekspresi genetik antara dua sampel berbeda misalnya sampel orang sehat dan penderita kanker. Microarray DNA ini juga biasa disebut sebagai DNA Chip. DNA Chip terdiri dari ribuan deret DNA yang tercetak dalam array densitas tinggi pada sebuah slide seukuran gelas mikroskop menggunakan suatu teknik yang disebut sebagai robotic arrayer.

Sample yang dianalisa terdiri atas dua kelompok sample DNA atau RNA yang akan dipelajari perbedaan hibridasisasinya terhadap probe pada slide. Khusus untuk sampel dalam bentuk mRNA, maka perlu ditranskripsi balik terlebjih dahulu menjadi cDNA. Setelah proses hibridisasi, kemudian dilakukan scanning image dari slides array DNA dengan menggunakan scanner untuk memperoleh pengukuran intensitas fluoresensi.
Asma (Asthma) adalah salah satu penyakit alergi serius yang muncul karena disebabkan sifat genetic dan faktor lingkungan seperti allergen (penyebab alergi), infeksi saluran pencernaan, dan polusi udara. Asma paling banyak berhubungan dengan atopy, suatu kecenderungan untuk meningkatkan immunoglobulin (Ig)-E menghadapi allergen dari lingkungan (Tzouvelekis et al 2004).
Dalam beberapa tahun dianggap nitrit oksida dengan inducible NO synthase (iNOS) memegang peranan penting pada peradangan termasuk asma. Namun studi terbaru menunjukkan bronchodilating constitutive NOS (cNOS)-turunan NO penting dalam menginduksi allergen-hyperresponsiveness. Meskipun begitu beberapa mekanisme yang bertujuan untuk menurunkan aktivitas cNOS, menurunkan keberadaan substrat karena adanya kombinasi dari peningkatan aktivitas arginase dan penurunan pengambilan l-arginine oleh sel, menunjukkan peranan kunci.
Dengan menggunakan model asma yang diinduksi dengan allergen dan cara berbeda, diidentifikasi adanya 6,5% dari genom yang diuji terdapat perubahan ekspresi gen pada paru-paru penderita asma. Khususnya dua model dengan sifat fenotip yang mirip pada eksperimen menunjukkan profil transkrip yang berbeda. Gen yang berhubungan dengan metabolisme  dengan asam amino dasar, secara spesifik asam amino kationik transporter 2, arginase I, dan arginase II, yang paling menunjukkan tanda gen penyebab asma. Pada hibridisasi in situ mendemonstrasikan penandaan arginase I, khususnya pada luka peradangan submocosal. Aktivitas arginase meningkat pada partu-paru yang diinduksi dengan allergen dengan meningkatnya aktivitas enzim, peningkatan kadar putresin, dan produk akhir. Berdasarkan kemampuan arginase untuk meregulasi nitrit oksida, poliamina dan kolagen, hasil ini menetapkan dasar dari farmakologi untuk menjadikan metabolisme arginine sebagai target pada kelainan alergi.
Metode yang digunakan dimulai dari eksperimen penginduksian asma, preparasi RNA dan hibridisasi microarray, analisis data microarray, Northern blot dan analisis RT-PCR, Hibridisasi in situ pada paru-paru tikus, Immunohistochemistry, aktifitas Arginase, tingkat Putrescine, analisis sampel paru-paru manusia, kemudian dengan hasil analisis DNA microarray diidentifikasi lah bagian genom yang terkait dengan penyakit asma. Pada hasil data microarray menunjukkan dua jumlah dari ekspresi gen yang digunakan berbeda nyata dan berbeda rata-rata secara statistik.
Sumber : Sciencebiotech.net